Ekonomi RI Turun, Pengangguran
Diprediksi Naik
Liputan6.com,
Jakarta - Pemerintah meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun lalu
sebesar 4,74 persen. Prediksi ini turun 1 persen dari asumsi makro di APBN-P
2015 yang sebesar 5,7 persen. Perlambatan ekonomi tersebut akan berdampak
terhadap jumlah pengangguran dan orang miskin di Tanah Air.
Deputy
Country Director Asian Development Bank di Indonesia, Edimon Ginting
memperkirakan, angka kemiskinan dan angka pengangguran di Indonesia akan
mengalami kenaikan pada 2015 karena pertumbuhan ekonomi yang meleset dari
target.
"Karena
pertumbuhan ekonomi pelan, pengangguran dan kemiskinan tidak bisa
dihindari," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti
ditulis Jumat (29/1/2016).
Ia
berpendapat, peningkatan jumlah pengangguran dan orang miskin bisa mencapai
sekitar 250 ribu jiwa. Perkiraan ini didapat dari asumsi kenaikan 1 persen
pertumbuhan akan menciptakan dan menyerap 250 ribu tenaga kerja. Dengan
demikian, dengan penurunan 1 persen pertumbuhan ekonomi, jumlah kenaikan orang
yang menganggur dan miskin sama.
Namun
Edimon mengatakan, kondisi ini hanya bersifat sementara. Pasalnya, dijelaskan
Edimon, pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk
menggairahkan sektor industri padat karya, industri jasa, pariwisata dan
manufakturing yang mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.
"Kondisi
ini sementara saja, masa transisi karena paket kebijakan pemerintah berupaya
menumbuhkan sumber pertumbuhan baru yang berfokus pada labour intensif, seperti
industri jasa, padat karya dan pariwisata yang justru bisa menciptakan lapangan
kerja lebih besar, lebih dari 250 ribu orang," terangnya.
Hanya
saja, sambungnya, masyarakat perlu bersabar dengan efek paket kebijakan ekonomi
pemerintah mengingat dampaknya baru bisa terasa pada 1-2 tahun ke depan.
"Paket kebijakan ekonomi bekerjanya perlu waktu 1-2 tahun ke depan, akan
tumbuh tempat-tempat produktif yang akan membuka lapangan kerja besar,"
ujar Edimon.
Sementara
Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro pernah mengatakan, salah satu
asumsi dasar ekonomi makro di APBN-P 2015, yakni pertumbuhan ekonomi
diproyeksikan tercapai 4,74 persen dari target 5,7 persen. Namun pemerintah
optimistis masih ada peluang kenaikan hingga 4,8 persen.
"Kontribusinya
tidak akan banyak berubah, tetap konsumsi nomor pertama dengan sumbangan 50-60
persen. Lalu investasi swasta dan pemerintah, meskipun ekspor impor turun dan
pengeluaran pemerintah stabil di angka 10 persen, tidak besar," ujarnya.
Dilihat
dari Produk Domestik Bruto (PDB) secara nominal, Bambang mengatakan akan
mencapai Rp 11.412,3 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dibanding realisasi
perekonomian Indonesia 2014 yang diukur berdasarkan PDB atas harga dasar yang
berlaku hingga Rp 10.542,7 triliun dengan pertumbuhan 5,02 persen.
Perlambatan
ekonomi di sebuah negara berimbas kepada penurunan angka pengguran dan
kemiskinan. Padahal setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menciptakan lapangan
kerja bagi 250 ribu orang. Sayangnya, Bambang belum menghitung potensi
pengangguran dan kemiskinan akibat penurunan pertumbuhan ekonomi di 2015. "Belum
tahu angkanya, tapi tinggal dihitung saja karena tidak berkorelasi
langsung," ujarnya.
Kuncinya
untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran, diakui Bambang melakukan
reformasi fiskal dengan baik. Kemiskinan bisa diberantas dengan cara mendesain
program-program unggulan pengentasan pengangguran dan kemiskinan meskipun
ekonomi Indonesia sedang terombang ambing.
"Kalo
kita punya kualitas anggaran yang baik, punya program mengurai kemiskinan yang
cocok, meski pertumbuhan ekonomi tidak sesuai harapan, program itu bisa
mengurangi kemiskinan mesti pertumbuhan ekonomi naik setinggi-tingginya. Kalau
ternyata tidak besar, tapi kalau programnya tepat, kemiskinan dan pengangguran
bisa turun. Jadi lihat dulu kualitas belanja di 2015," terang Bambang.
Seperti
diketahui, Kepala BPS, Suryamin mengungkapkan, basis penduduk miskin di
Indonesia pada bulan ketiga ini sebesar 28,59 juta orang dengan prosentase
11,22 persen terhadap total penduduk Indonesia. Angka tersebut mengalami
kenaikan dari realisasi jumlah penduduk miskin di periode Maret dan September
tahun lalu.
"Jumlah
ini terjadi kenaikan 860 ribu orang miskin dibanding realisasi jumlah penduduk
miskin sebesar 27,73 juta di September 2014. Sedangkan dibanding Maret 2014
yang 28,28 juta jiwa, angka orang miskin di Maret 2015 bertambah 310
ribu,"
Sementara
Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS, Suhariyanto mengungkapkan, Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan kedelapan tahun ini sebanyak 7,56 juta
orang atau 6,18 persen. Angka tersebut naik dari periode yang sama 2014 sebesar
5,94 persen atau 7,24 juta orang.
Sementara
posisi Februari 2015, angka TPT di Indonesia sebanyak 7,45 juta jiwa atau 5,81
persen. Jumlah ini naik dibanding realisasi 7,15 juta jiwa atau 5,70 persen
pada Februari 2014.
"Jadi
angka pengangguran naik 320 ribu jiwa selama setahun dari Agustus 2014 ke
periode yang sama 2015," ucap Suhariyanto.
Dalam
kesempatan yang sama, Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS,
Rizal Ritonga mengatakan, angka pengangguran meningkat karena terjadi PHK dan
penurunan daya serap tenaga kerja akibat perlambatan ekonomi.
"Pengangguran
naik karena para pencari kerja banyak yang tidak terserap, serta maraknya PHK.
Semua itu terjadi akibat perlambatan ekonomi di Indonesia," kata Rizal.
(Fik/Gdn).
ANALISIS :
1. Adanya
pemutusan kerja dari perusahaan
Pengangguran terjadi
biasanya disebabkan antara lain : perusahaan yang menutup atau mengurangi
bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif, peraturan
yang menghambat inventasi, hambatan dalam proses ekspor impor, dan lain-lain.
Bisa juga dikarenakan perusahaan yang bangkrut disebabkan oleh karena kredit
macet atau tidak mampu mengangsur pinjaman Bank. Kredit macet disebabkan oleh
krisis ekonomi yang melanda bangsa ini sejak tahun 1997. Krisis ekonomi
disebabkan oleh krisis moneter(melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS).
Krisis moneter disebabkan oleh rusaknya ekonomi Indonesia. Kerusakan ekonomi
ini disebabkan oleh adanya mental korup, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
merajalela dan sistematik pada semua lembaga negara dan swasta. Budaya KKN ini
disebabkan oleh pemerintahan yang kotor (tidak bersih). Masih bisa dicari lagi
sebab-sebabnya misalnya dekadensi (kemerosotan moral). Sehingga erat sekali
hubungan antara pengangguran dengan bagaimana keadaan perekonomian suatu
Negara.
2. Terbatasnya
lapangan kerja sementara Tingginya jumlah penduduk.
Semakin
tingginya jumlah penduduk sementara tingkat kesempatan kerja tidak mengalami
pertumbuhan atau kenaikan, akan menyebabkan menumpuknya jumlah pengangguran.
Hal ini terjadi karena jumlah pertumbuhan penduduk berbanding terbalik dengan
jumlah pertumbuhan lapangan kerja atau kesempatan kerja. Bagaimana hal ini bisa terjadi biasanya dalam
perilaku masyarakat dengan mengatakan banyak anak banyak riski akan mendorong
tiap warga masyarakat untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya tanpa ada kesadaran
bahwa banyak anak berarti akan mempersempit tempat tinggal dari keluarga
tersebut dan banyaknya beban yang harus ditanggung oleh keluarga itu sendiri
dan juga oleh pemerintah.
Penganggur
Lulusan SMK dan Universitas Naik, Ini Penyebabnya
Liputan6.com, Jakarta - Badan
Pusat Statistik (BPS) melaporkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada
Februari 2016 menjadi 5,50 persen dengan jumlah 7,02 juta orang. Orang yang
menganggur paling banyak dan mengalami kenaikan berpendidikan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dan Universitas.
Kepala BPS, Suryamin mengungkapkan,
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2016 sebesar 5,50 persen
sebanyak 7,02 juta orang. Realisasi angka pengangguran ini menurun 430 ribu
orang sebanyak 7,45 juta orang dengan TPT 5,81 persen di Februari 2015.
"Dalam setahun terakhir TPT
turun dan jumlah penganggur berkurang sebanyak 430 ribu orang," katanya
saat Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2016 di kantor BPS, Jakarta,
Rabu (4/5/2016).
Suryamin menyebut, tingkat
pengangguran pada jenjang SMK dan Universitas selama setahun terakhir naik
masing-masing 9,84 persen dan 6,22 persen di Februari 2016. Sementara TPT di
pendidikan ini pada periode yang sama 2015 sebesar 9,05 persen dan 5,34 persen.
"Dalam setahun terakhir,
Tingkat Pengangguran Terbuka yang meningkat terjadi pada jenjang SMK 0,79
persen poin dan Universitas 0,88 persen poin. Jadi memang TPT tertinggi pada
jenjang pendidikan SMK 9,84 persen," ujarnya.
Sementara TPT terendah pada
penduduk berpendidikan SD ke bawah yakni sebesar 3,44 persen pada bulan kedua
2016. Realisasinya menurun dibanding 3,61 persen di Februari 2015. Pada jenjang
pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), tingkat pengangguran melosot dari 7,14
persen menjadi 5,76 persen. TPT 6,95 persen oleh penduduk di jenjang pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebelumnya TPT di Februari 2015 sebesar 8,17 persen.
Serta pada jenjang pendidikan Diploma I/II/III, tingkat pengangguran turun dari
7,49 persen menjadi 7,22 persen.
Dalam kesempatan yang sama,
Kasubdit Statistik Ketenagakerjaan BPS Wachyu Winarsih mengungkapkan, tingkat
pengangguran di jenjang pendidikan SMK naik karena lulusan SMK didorong untuk
menjadi seorang wirausaha. Namun pada kenyataannya, banyak alumni sekolah
kejuruan ini yang belum siap mengimplementasikan ilmunya sebagai entrepreneur
dan memilih untuk bekerja di perusahaan.
"Karena mereka belum berani
jadi wirausaha, akhirnya menjadi buruh atau karyawan dulu. Sementara lapangan
kerja yang menyerap mereka terbatas. Tapi Tingkat Pengangguran Terbuka tinggi
untuk SMK, hanya di jurusan tertentu saja, misalnya di jurusan Tata Boga,"
jelasnya.
Sementara tingkat pengangguran
naik di jenjang pendidikan Universitas, diakui Wachyu karena jebolan Sarjana
ini terlalu memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat maupun sesuai bidang
studi yang ditekuni, termasuk mempertimbangkan soal gaji.
"Kalau pekerjaan tidak sesuai
dengan bidang pendidikan, atau gaji belum cocok, ya lebih baik nunggu dulu,
cari kerjaan di perusahaan lain. Mereka cenderung punya kebebasan, beda dengan
yang berpendidikan rendah. Mereka harus bekerja untuk bisa makan," tegasnya.
Sedangkan dari sisi lapangan usaha
atau perusahaan, lanjut Wachyu, perusahaan kian selektif untuk merekrut atau
menerima karyawan baru. Perusahaan mempunyai kriteria tertentu, dan cenderung
memilih pekerja yang mempunyai kompetensi atau keahlian dan pengalaman.
"Perusahaan juga seleksi
calon karyawan baru, mencari lulusan yang bukan saja mahir sesuai latar
belakang pendidikan saja, tapi juga punya keahlian di luar itu dan pengalaman.
Sementara tidak sedikut lulusan SMK dan Universitas yang belum memiliki
kriteria tersebut," pungkas Wachyu. (Fik/Gdn)
ANALISIS :
1. Pendidikan
dan keterampilan yang rendah.
Syarat
seseorang untuk bisa dengan mudahnya memperoleh pekerjaan tentunya harus
dimodali dengan pendidikan dan keterampilan yang baik. Kalau tidak, jangan
harap kita bisa dapat pekerjaan yang layak. Bayangkan saja begitu banyaknya
lulusan-lulusan SMP, SMA maupun perguruan tinggi lainnya di tiap tahunnya,
hanya yang berbibit unggullah yang kelak akan menghiasi dunia kerja. Hal ini
juga terjadi karena sebagian orang berpendapat bahwa banyaknya para sarjana
yang tidak memperoleh pekerjaan atau menjadi pengangguran, sehingga para
masyarakat awam berpikir untuk apa sekolah atau kuliah kalau ujung-ujungnya
menjadi pengangguran. Selain itu mahalnya biaya pendidikan juga menghambat para
masyarkat kecil untuk memperoleh pendidikan yang layak.
2. Angkatan
kerja tidak dapat memenuhi persyaratan yang diminta dunia kerja.
Sama halnya
dengan poin kedua, ketidak terpenuhinya persyaratan yang diminta dunia kerja
seperti pendidikan dan keterampilan yang bagus hanya akan menambah jumlah pengangguran
di Indonesia. Bahkan tak jarang kompetensi pencari kerja yang tidak sesuai dengan pasar kerja. Misalnya,
banyaknya lulusan pertanian yang bekerja di perbankan, lulusan ekonomi kerja di
kehutanan, sehingga para masyarakat berpikir untuk memperoleh pekerjaan cukup
dengan jalan pintas yang menyebabkan kurangnya keterampilan bagi calon pekerja
karena tidak sesuai dengan posisi atau kemampuan yang dia miliki.