HUKUM PERJANJIAN
Disusun Oleh :
IRMA SELVYANI KARO SEKALI
2EB23
28212140
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu
persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang
pokok di dalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang
seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan
barang, pembentukan organisasi usaha dan termasuk juga menyangkut tenaga kerja.
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi tentang perjanjian sebagai berikut: “Perjanjian
adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.”
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat
sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab
yang halal sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan
dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak
yang membuatnya. Sedangkan kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak
yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan
perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian,
kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan untuk menentukan bentuk
perjanjian.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa hal yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu :
1. Apa pengertian hukum perjanjian dan asas
standar kontrak?
2. Apa saja macam-macam Perjanjian?
3. Apa syarat sahnya suatu Perjanjian?
4. Bagaimana lahirnya / sejarah suatu
Perjanjian?
5. Bagaimana cara pembatalan dan pelaksanaan
suatu Perjanjian?
1.3 TUJUAN
PEMBAHASAN
1. Memahami pengertian dan asas standar kontrak
perjanjian.
2. Memahami macam-macam perjanjian.
3. Memahami syarat syahnya suatu perjanjian.
4. Memahami sejarah terbentuknya suatu
perjanjian.
5. Memahami cara membatalkan dan melaksanakan
suatu perjanjian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Perjanjian dan Asas Standar Kontrak Perjanjian
Perjanjian berdasarkan
definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. R. Subekti menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.
Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung
unsur :
a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan”
pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata
perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat
hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih
terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling
sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan
pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau
badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat
unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam
perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya
sendiri.
Asas kebebasan berkontrak
dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat :
(1) KUH Perdata, yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
(a) Membuat atau tidak
membuat perjanjian;
(b) Mengadakan perjanjian
dengan siapa pun;
(c) Menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
(d) Menentukan bentuk
perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas
kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional
lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang
pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht,
Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme,
setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak asas ini
diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa
the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena
pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas
kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang
kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman
pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
2.2 Macam – Macam Perjanjian
Menurut Sutarno, perjanjian
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Perjanjian timbal balik
dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik
adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.
Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada
satu pihak dan kepadapihak lainnya, misalnya hibah.
2. Perjanjian percuma dan
perjanjian dengan alas hak membebani
Perjanjian percuma adalah
perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Sedangkan
perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap
prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak
lainnya, sedangkan kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian bernama dan
tidak bernama
Perjanjian bernama adalah
perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai
perjanjian‐perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli,
sewa menyewa. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yag tidak
mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
4. Perjanjian kebendaan dan
perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah
perjanjian untuk memindahkan hak milikdalam perjanjian jual beli. Perjanjian
kebendaan ini sebagai pelaksanaan dari perjanjian obligatoir. Perjanjian
obligatoir sendiri adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak
timbulnya hak dan kewajiban para pihak.
5. Perjanjian konsensual dan
perjanjian real
Perjanjian konsensual adalah
perjanjian yang timbul karena ada perjanjian kehendak antara pihak‐pihak.
Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian di samping ada perjanjian kehendak
juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barang yang diperjanjikan.
2.3 Syarat Syahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUHPerdata
mengatakan bahwa syarat sahnya perjanjian adalah:
a. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Prof. Subekti menjelaskan
maksud dari Pasal 1320 KUH Perdata tersebut. Ayat 1 yaitu tentang adanya kata
sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah adanya kemauan yang bebas
sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah. Dianggap tidak ada jika
perjanjian itu telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau
penipuan (bedrog). Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat
ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,
penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan
keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Misal:
Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan)
dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
- TPK sepakat untuk membeli
sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai
barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah
pihak.
- TPK dan supplier telah
dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang
untuk membuat perjanjian.
- Barang yang akan
dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
- Tujuan perjanjian jual
beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh:
TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana
nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya). Ada dua akibat yang dapat
terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat di atas.
Pasal 1331 (1) KUH Perdata:
Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila
perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau tidak didasari pada
itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi hukum.
Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan lebih lanjut para
pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim. Sedangkan untuk
perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian dibawah
paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah pengawasan, maka
perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang tidak
mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak
dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.
2.4 Saat Lahirnya Perjanjian
Suatu perjanjian harus dianggap
lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang
yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediannya
untuk meningkatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak bertemu dan sepakat
misalnya dengan memasang harga pada barang ditoko, orang yang mempunyai toko
itu dianggap telah menyatakan kehendaknya untuk menjual barang-barang itu.
Apabila ada sesuatu yang masuk ketoko tersebut dan menunjuk suatu barang serta
membayar harganya dapat dianggap telah lahir suatu perjanjian jual beli yang
meletakkan kewajiban pada pemilik toko untuk menyerahkan baran-barang itu.
2.5 Pembatalan
dan Pelakasanaan Perjanjian
PEMBATALAN
PERJANJIAN
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas
perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak
yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum
pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan
perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a.
Secara aktif menuntut pembatalan
perjanjian tersebut di depan hakim
b.
Secara pembelaan maksudnya adalah
menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan
kekurangan dari perjanjian itu.
PELAKSANAAN PERJANJIAN
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata merupakan ukuran objektif untuk
menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus
megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk
memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan
hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya
perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat
pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara
sepihak saja.
BAB III
KESIMPULAN
Perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Selain itu subjek perjanjian
dalam lapangan hukum privat adalah individu atau badan hukum, sementara subjek
perjanjian dalam lapangan hukum publik adalah subjek hukum internasional yaitu
negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan pembebasan. Perjanjian juga mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak,
perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA